CERPEN: Perjuangan


Nama: Dhia Azhaar Rohadatul Aissy
Kelas: 11 IPS 2
Mata pelajaran: Bahasa Indonesia
Tugas: Buatlah cerita pendek, lalu post cerpen
buatanmu di blog pribadi.



Perjuangan
Dhia Azhaar Rohadatul Aissy

“Dasar anak yatim piatu, kerjanya hanya ngerepotin orang. Adanya kamu di rumahku cuma ngerepotin. Belum lagi kamu satu sekolah denganku, cih! Bikin aku malu aja!” kata seorang gadis cempreng dengan ketus. “Sudahlah, kamu gak boleh gitu sama dia. Lumayan kan kalau ada dia, Ibu gak usah bayar orang lain buat ngurus rumah.” kata Ibu dari gadis itu dengan sarkasme.

Semua orang memandang dirinya rendah, tidak mempunyai masa depan yang jelas. Menganggapnya hanya seorang anak perempuan yang berusia 12 tahun, yang hidup sendirian tanpa orangtua, akibat keduanya bercerai dan ibunya yang sudah meninggal akibat kecelakaan. Ayahnya sudah menikah lagi dengan wanita lain sehingga tinggal menyisakannya seorang diri. Di mana hal ini membuat bibinya beranggapan bahwa Anya hanya menyusahkan dirinya saja. Karena Anya harus tinggal di tempatnya. Ia harus menumpang di tempat bibinya. Ia diperlakukan oleh bibi dan sepupunya layaknya pembantu. Siapa yang peduli dengan gadis tersebut.


Dialah Anya, gadis berusia 12 tahun yang sangat malang nasibnya. Anya memiliki tubuh yang mungil akibat jarang mendapat asupan gizi. Hingga tulang belulangnya tampak sangat tergambar. Kantung matanya yang cukup tebal akibat ia harus bekerja hingga larut malam dan tangannya yang kotor dan selalu bau dapur. Jarang orang yang menyadari kehadirannya.


Namun, di balik itu semua, tidak ada yang menyangka bahwa ia mempunyai hati yang teguh dan daya pikir yang luar biasa – berbeda dengan orang lain. Walaupun ia harus berjalan kaki sejauh 20 km setiap hari untuk sekolah, tanpa ada uang saku ataupun bekal seperti temannya yang lain. Tidak ada kata mengeluh dan menyerah dalam kamus hidupnya. Yang ada hanya berjuang hingga titik penghabisan untuk memperbaiki nasib dan keadaan.


Seragam lusuh dengan beberapa tambalan yang ia jahit sendiri bekas sepupunya, sudah biasa ia kenakan. Tas dari kantong plastik yang biasa ia gunakan untuk belanja, dan sepatu yang sudah menganga seperti mulut buaya. Ia tidak begitu peduli tentang hal-hal tersebut, dan hal itu juga tak pernah menyurutkan niatnya untuk terus sekolah. Dengan penampilannya yang sedemikian rupa. Siapa sih, yang mau berteman dengannya? Seorang gadis biasa dari kampung, dengan pakaian lusuh, wajah seperti tak pernah mandi, dan bau badannya yang menyengat hidung.


“Hari ini, nilai Matematika akan dibagikan, ya?” tanya Sinta.

“Iya, iya. Duh, semoga aja aku dapat nilai bagus ya.” jawab Heru sambil melahap roti di tangannya.

“Ya jelas aku lah yang dapat nilai paling tinggi. Aku kan sudah ikut les mahal.” kata Erika dengan nada sombong.

“Kursus ini itu gak menjamin kamu dapat nilai tinggi, lho.” kata Sinta.

“Iya, bener tuh kata Sinta. Walaupun kamu ikut les mahal-mahal, hasilnya kan tergantung usahamu, Sin.” timpal Danu.

“Halah, berisik banget sih kalian. Iri ya iri ajagak usah menasehatiku kayak gitu.” balas Sinta.


Lalu, bel sekolah berdering. Para murid bergegas duduk di bangku masing-masing diikuti masuknya guru Matematika, Bu Rena. Seperti yang dibicarakan murid-murid pagi ini, Bu Rena membacakan daftar nilai Matematika kelas 7A. Bu Rena membacakan nilai dari yang terendah hingga yang tertinggi.


“Farel... 60”

“Reza... 65. Reza, nilaimu kok turun?” tanya Bu Rena.

“Hehe, iya bu. Habisnya soalnya susah banget.” jawab Reza.

“Ah, masa sih? Engga kok, belajarnya lebih rajin lagi ya nak...”

“Vina... 70”

“Pandu... 75”

“Danu... 80”

“Sinta...  90”

“Nilaiku yang paling tinggi ya bu?” tanya Sinta.

“Tunggu sebentar ya, Sinta. Ibu masih belum selesai.” Jawab Bu Rena.

“Erika... 95” lanjut Bu Rena.

“Tuh kan, Sin. Benar kan kataku, pasti aku dapat nilai paling bagus. Semua materinya udah diajarin di tempat les ku.” bisik Erika kepada Sinta.


“Anya... Wah, Anya, kamu dapat nilai paling sempurna nih kali ini. Nilaimu 100!”. Bu Rena tepuk tangan dan memberikan selamat kepada Anya. “Selamat ya nak, pertahankan terus nilaimu ini. Walaupun sudah dapat nilai bagus, tetap harus belajar yang rajin.”. 


Sontak kelas jadi gaduh. Sangat mustahil, bagaimana bisa anak yang kerjaan sehari-harinya hanya mengerjakan pekerjaan asisten rumah tangga itu dapat nilai sempurna. Dan ketahuilah, Ibu Rena adalah guru yang cukup pelit dalam memberi nilai. Semua anak sontak melihat ke arah Anya. Yang terpaku sendirian di pojok, hanya dapat tertunduk tidak percaya seraya mengucapkan syukur dalam hati. Tak disangka bukan, anak macam dia, dapat mendapat nilai sempurna.


Semua anak tidak percaya. Mereka merasa sia-sia sudah perjuangan mereka mati-matian belajar hingga larut malam. Ikut les mahal yang harganya bukan main. Sejak itu, banyak anak yang ingin diajarkan matematika oleh Anya. Namun, tak sedikit pula yang menggunjing Anya. Dengan menganggap Anya menyontek pada saat ulangan. Namun hal itu tidak terlalu digubris oleh Anya, ia hanya ingin berbagi ilmu ke teman-temannya yang mau saja.


Seiring berjalannya waktu, Anya tumbuh menjadi gadis yang tangguh, kuat, cerdas, dan juga cantik. Ia menjadi tangguh dan kuat, itu semua akibat lika-liku perjalanannya dalam memperjuangkan hidupnya. Berjuang untuk menimba ilmu, berjuang untuk memperbaiki nasibnya, dan yang pasti berjuang untuk hidup dan masa depannya. Ia tidak ingin dirinya hanya berkutat dalam kehidupan yang pahit, ia harus berusaha keras ke luar dari lingkaran yang menyedihkan tersebut.


Hingga pada saat ia SMA, ia memutuskan untuk merantau. Pergi ke tanah orang untuk mencari ilmu dan pengalaman. Ia merantau ke Yogya. Tempat yang kata orang-orang adalah kotanya para pelajar. Ia berangkat dengan uang saku seadanya. Berkat kecerdasan yang ia miliki, ia berhasil menjadi siswa di salah satu sekolah terfavorit di Yogya dan mendapatkan beasiswa sepenuhnya dari pemerintah setempat.


Awal perjalanannya, ia merasa gugup dan tidak sanggup. Ia membiayai hidupnya dengan cara bekerja paruh waktu seusai sekolah. Ia bekerja seharian saat weekend tiba ketika teman-temannya asik pergi jalan-jalan bersama keluarga, teman, ataupun kekasih. Ia tinggal sendiri di tempat kost yang fasilitasnya tidak seberapa. Namun sekali lagi, Anya bukanlah tipe orang yang memperdulikan materi. Selama ia masih bisa bersekolah dan makan, baginya itu tidak masalah.


Tempaan dahsyat yang ia alami ketika masih kecil telah melahirkan sosok baru yang dahsyat pula. Selama tiga tahun bersekolah, ia berturut-turut meraih ranking satu, serta mendapatkan predikat murid berprestasi karena prestasinya yang luar biasa. Siapa sangka, hal ini dapat terjadi. Hidup memang adil. Di balik hidup Anya yang susah, ia memiliki kecerdasan yang luar biasa. Berkat prestasinya yang gemilang, ada lembaga beasiswa yang meliriknya, yang memberinya beasiswa gratis sepenuhnya untuk belajar di Eropa.

Comments

Popular posts from this blog

D'Cantina, Food Court di Kampus I UNTAR

Villa Naga Jonggol Resort